Teruntuk Yang Mulia Sultan Baabullah Khalifah Islam Nusantara Timur
yang sangat kami Cintai dan kami Banggakan
Salam
untuk Sultan
Yang menguasai 72 pulau berpenghuni di Samudra.
Yang menguasai Nusantara Timur, Mindanao, dan Kepulauan Marshall.
Yang berhasil untuk pertama kalinya, mengusir para Bandeirates
Portugis dari bumi Maluku untuk selama-lamanya.
Tapi maaf, Sultan
Bangsa ini, yang merupakah ahli
waris langsung dari kejayaan negerimu
Semakin melempem, menciut,
mengidap amnesia akut
Merasa terasing dari kejayaan masa
lampaunya
Saat ini, negeri ini tak ubahnya Maluku abad
ke-16 kan?
Ternate diganti Indonesia, Portugis diganti Amerika
Serikat, dan cengkeh diganti emas
Negeri yang mewariskan
kejayaanmu dimonopoli kembali!
Namun justru kami tak berdaya,
masih belum bisa melawan
Kalau Sultan sendiri, setelah
berhasil mengusir Portugis dan membebaskan cengkeh
Ternate
dibawa menuju masa kejayaan dan keemasan tanpa tanding
Kalau
negeri kami, setelah membebaskan emas di ufuk Timur sana dari kuasa
orang asing
Mungkinkah bisa mengikuti jejak kejayaan negeri
Sultan?
----Dari
rakyat jelata abad ke-21 untuk raja abad ke-16.
Sultan Baabullah (
10
Februari 1528
- permulaan
1583)
adalah
sultan
dan penguasa
Kesultanan Ternate ke-24 yang berkuasa
antara tahun
1570
-
1583, ia
merupakan sultan
Ternate dan
Maluku
terbesar sepanjang sejarah yang berhasil mengalahkan
Portugis dan mengantarkan Ternate ke puncak
keemasan di akhir
abad ke-16. Sultan Baabullah juga dijuluki
sebagai penguasa 72 pulau berpenghuni yang meliputi pulau–pulau di
nusantara bagian timur,
Mindanao selatan dan
kepulauan Marshall.
Masa muda
Dilahirkan tanggal
10 Februari 1528,
kaicil
(pangeran) Baab adalah putera
Sultan Khairun (
1535-
1570) dengan
permaisurinya
Boki Tanjung, puteri
Sultan Alauddin I dari
Bacan. Sultan Khairun sangat memperhatikan pendidikan calon
penggantinya, sejak kecil pangeran Baab bersama saudara-saudaranya telah
digembleng oleh para mubalig dan panglima dimana ia memperoleh
pemahaman tentang ilmu agama dan ilmu perang sekaligus. Sejak remaja ia
juga telah turut mendampingi ayahnya menjalankan urusan pemerintahan dan
kesultanan.
Ketika pecah
perang
Ternate–Portugis yang pertama (
1559-
1567), Sultan
Khairun mengutus putera – puteranya sebagai panglima untuk menghantam
kedudukan Portugis di Maluku dan Sulawesi, salah satunya adalah pangeran
Baab yang kemudian tampil sebagai panglima yang cakap dan berhasil
memperoleh kemenangan bagi Ternate. Ternate sukses menahan ambisi
Portugis sekaligus memenangkan banyak wilayah baru.
Kematian Sultan
Khairun
Setelah kejatuhan
Ambon ke tangan Ternate dalam perang Ternate –
Portugis yang pertama, Portugis terpaksa memohon damai kepada sultan
Khairun yang kemudian disambut dengan itikad baik. Semua hak-hak
istimewa Portugis menyangkut monopoli perdagangan rempah-rempah
dihilangkan namun mereka tetap diperbolehkan untuk berdagang dan
bersaing dengan pedagang nusantara serta pedagang asing lainnya secara
bebas. Rupanya permohonan damai Portugis itu hanya kedok untuk mengulur
waktu demi mengkonsolidasikan kembali kekuatan mereka, menunggu waktu
yang tepat untuk membalas Ternate.
Dengan dalih ingin membicarakan dan merayakan hubungan Ternate –
Portugis yang membaik, gubernur Portugis
Lopez De Mesquita
(1566-1570) mengundang sultan Khairun ke benteng Sao Paulo tanggal 25
Februari 1570 untuk jamuan makan. Sang sultan memenuhi undangan itu dan
datang tanpa pengawal, tak dinyana setibanya di benteng ia dibunuh atas
perintah De Mesquita. De Mesquita beranggapan dengan mengenyahkan sultan
Khairun, Maluku akan kehilangan pemimpin hebat dan segera tercerai
berai, akan tetapi ia lupa bahwa sultan Khairun memiliki pewaris –
pewaris yang hebat terutama dalam diri pangeran Baab.
Kebangkitan
Sultan Baabullah
Penobatan sebagai
Sultan
Kematian Sultan Khairun yang tragis memicu kemarahan rakyat dan juga
para raja di Maluku, dewan kerajaan atas dukungan rakyat lalu menobatkan
Kaicil Baab sebagai Sultan Ternate berikutnya bergelar
Sultan
Baabullah Datu Syah. Dalam pidato penobatannya Sultan Baabullah
bersumpah bahwa ia akan berjuang untuk menegakkan kembali panji - panji
Islam di
Maluku
dan menjadikan
kesultanan Ternate sebagai kerajaan
besar serta melakukan tindakan balasan sampai orang terakhir bangsa
Portugis meninggalkan wilayah kerajaannya.
Pengumuman Perang
Jihad
Sultan Baabullah tidak menunda waktu setelah penobatan dan pidato
pelantikan diucapkan. Perang Jihad diumumkan di seluruh negeri. Tak
kalah dengan ayahnya ia tampil sebagai koordinator yang handal dari
berbagai suku yang berbeda akar genealogis di nusantara bagian timur.
Untuk memperkuat kedudukannya Sultan Baabullah menikahi adik
Sultan
Iskandar Sani dari
Tidore. Raja – raja Maluku yang lainpun melupakan
persaingan mereka dan bersatu dalam satu komando di bawah Sultan
Baabullah dan panji Ternate, begitu pula raja – raja dan kepala suku di
Sulawesi
serta
Papua.
Sultan Baabullah memiliki panglima – panglima yang handal, di
antaranya ;
Raja Jailolo Katarabumi,
salahakan
(gubernur)
Sula Kapita Kapalaya,
salahakan Ambon Kapita
Kalakinka, dan
Kapita Rubuhongi. Menurut sumber
Spanyol,
dibawah panjinya Sultan Baabullah mampu mengerahkan 2000 kora – kora
dan 120.000 prajurit.
Pengusiran Portugis
Pasca pembunuhan Sultan Khairun, Sultan Baabullah menuntut penyerahan
Lopez de Mesquita untuk diadili. Benteng – benteng Portugis di Ternate
yakni Tolucco, Santo Lucia dan Santo Pedro jatuh dalam waktu singkat
hanya menyisakan Benteng Sao Paulo kediaman De Mesquita. Atas perintah
Baabullah pasukan Ternate mengepung benteng Sao Paulo dan memutuskan
hubungannya dengan dunia luar, suplai makanan dibatasi hanya sekedar
agar penghuni benteng bisa bertahan. Sultan Baabullah bisa saja
menguasai benteng itu dengan kekerasan namun ia tak tega karena cukup
banyak rakyat Ternate yang telah menikah dengan orang Portugis dan
mereka tinggal dalam benteng bersama keluarganya. Karena tertekan
Portugis terpaksa memecat Lopez de Mesquita dan menggantinya dengan
Alvaro de Ataide namun langkah ini tidak berhasil meluluhkan Baabullah.
Meskipun bersikap “lunak” terhadap Portugis di Sao Paulo, Sultan
Baabullah tidak melupakan sumpahnya, ia mencabut segala fasilitas yang
diberikan sultan Khairun kepada Portugis terutama menyangkut misi
Jesuit. Ia mengobarkan perang Soya – Soya (perang pembebasan negeri),
kedudukan Portugis di berbagai tempat digempur habis – habisan, tahun
1571 pasukan Ternate berkekuatan 30 juanga yang memuat 3000 serdadu
dibawah pimpinan Kapita Kalakinka (Kalakinda) menyerbu Ambon dan
berhasil mendudukinya. Pasukan Portugis dibawah kapten Sancho de
Vasconcellos yang dibantu pribumi kristen berhasil memukul mundur
pasukan Ternate di pulau Buru untuk sementara namun segera jatuh setelah
Ternate memperbaharui serangannya kembali dibawah pimpinan Kapita
Rubuhongi.
Tahun 1575 seluruh kekuasaan Portugis di Maluku telah jatuh dan
suku-suku atau kerajaan pribumi yang mendukung mereka telah berhasil
ditundukkan hanya tersisa benteng Sao Paulo yang masih dalam
pengepungan. Selama lima tahun orang-orang Portugis dan keluarganya
hidup menderita dalam benteng, terputus dari dunia luar sebagai balasan
atas penghianatan mereka. Sultan Baabullah akhirnya memberi ultimatum
agar mereka meninggalkan Ternate dalam waktu 24 jam. Mereka yang telah
beristrikan pribumi Ternate diperbolehkan tetap tinggal dengan syarat
menjadi kawula kerajaan. Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan
kemenangan pertama putera-putera Nusantara atas kekuatan barat dan oleh
Buya Hamka kemenangan rakyat Ternate ini dipuji sangat penting karena
menunda penjajahan barat atas nusantara selama 100 tahun.
Demikianlah, tanggal 15 Juli 1575, orang Portugis pergi secara
memalukan dari Ternate, tak satupun yang disakiti. Mereka kemudian
diperbolehkan menetap di Ambon hingga 1576, setelah itu sebagian dari
mereka pergi ke Malaka dan sebagian lagi ke Timor dimana mereka
menancapkan kekuasaan mereka hingga 400 tahun kemudian.
Tanggal
3 November 1579, Sultan Baabullah menerima kunjungan
Francis
Drake (kelak Sir Francis Drake), seorang petualang
Inggris
yang terkenal. Drake dan kelompoknya datang dari
Australia
dengan 5 kapal salah satunya
Golden Hind yang legendaris. Kepada
Sultan Baabullah, Drake menyatakan kedatangannya hanya untuk berdagang
semata-mata. Ia mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap orang
Portugis maupun
Spanyol
serta menceritakan situasi terakhir di
Eropa.
Sultan Baab menerima tamunya dengan gembira dan menjamu mereka di
istana. Pertemuan mereka merupakan embrio hubungan diplomatik
Indonesia
–
Inggris.
Dalam jamuan makan mewah yang berlangsung setelah perundingan, Drake
dan rombongan disuguhkan hidangan dari sagu, nasi, bermacam – macam lauk
pauk dari kambing, rusa dan ayam sampai ikan bubara bakar dan katang
kanari (kepiting kenari), yang semuanya dimasak dengan ramuan cengkih.
Antara Sultan dan Francis Drake timbul rasa saling menghormati. Francis
Drake amat terkesan dengan sultan Baabullah. Ia meninggalkan Ternate
dengan kapal penuh muatan
cengkeh kualitas prima, sang
sultan bersama armada Ternate mengiringi kapal Drake sampai ke laut
lepas.
Laporan Francis Drake
Sultan Baabullah menyambut para tamu dengan upacara kebesaran dan
jamuan istimewa. Laporan Francis Drake seperti yang dimuat Willard A.
Hanna dan
Des Alwi dalam buku mereka (
Ternate dan Tidore masa lalu
penuh gejolak, hal 96-97) menggambarkan suasana pertemuan itu ;
- “Sementara orang-orang kami menunggu kedatangan sultan yang akan
datang kira-kira setengah jam lagi, mereka mendapat kesempatan lebih
baik untuk mengamati semua itu; juga sebelum kedatangan sultan sudah ada
tiga baris tokoh bangsawan tua, yang konon semuanya adalah penasihat
pribadi raja; di ujung rumah ditempatkan sekelompok orang muda,
berpakaian dan berpenampilan anggun. Di luar rumah, di sebelah kanan,
berdiri empat orang dengan rambut ubanan, semuanya berpakaian jubah
merah panjang sampai ke tanah, tetapi penutup kepalanya tidak jauh
berbeda dari orang Turki; mereka ini disebut orang Rum (Romawi/Eropa),
atau orang asing, yang ada disana sebagai perantara untuk tetap
memelihara perdagangan dengan bangsa ini: mereka adalah dua orang Turki,
satu orang Italia sebagai perantara dan yang terakhir seorang Spanyol,
yang dibebaskan oleh sultan dari tangan orang Portugis dalam perebutan
kembali pulau itu, dan berhenti sebagai serdadu untuk mengabdi kepada
sultan.
- Sultan akhirnya datang dari benteng, dengan 8 atau 10 senator
yang mengikuti dia, dinaungi payung yang sangat mewah (dengan hiasan
emas timbul di tengahnya), dan dijaga dengan 12 tombak yang matanya
diarahkan ke bawah: orang kami (disertai saudara sultan), bangun untuk
menemui dia, dan ia dengan sangat ramah menyambut dan berbasa – basi
dengan mereka. Seperti telah kami gambarkan sebelumnya, ia bersuara
lirih, bicaranya halus, dengan keanggunan sikap seorang sultan, dan
seorang dari bangsanya. Pakaiannya menurut mode penduduk lain dari
negerinya, tetapi jauh lebih mewah, sebagaimana dituntut oleh keberadaan
dan statusnya; dari pinggang ke tanah ia mengenakan kain bersulam emas,
sepatu dari beludru berwarna merah; hiasan kepalanya bertatahkan
berbagai cincin berlapis emas, selebar satu atau satu setengah inci,
yang membuatnya indah dan agung dipandang, mirip seperti mahkota; di
lehernya ia mengenakan kalung rantai dari emas murni yang mata rantainya
besar sekali dan satu rangkaian rangkap; di tangan kirinya terdapat
Intan, batu Zamrud, batu Merah Delima dan batu Pirus, 4 batu permata
yang sangat indah dan sempurna; di tangan kanannya; pada satu cincin
terdapat satu batu Pirus besar dan sempurna, dan pada cincin lain
terdapat banyak Intan berukuran lebih kecil, yang ditatahkan dengan
sangat indah.
- Demikianlah ia duduk di atas tahta kerajaannya, dan di sebelah
kanan berdiri seorang pelayan dengan sebuah kipas sangat mahal (tersulam
dengan kaya dan terhias dengan batu nilam). Ia mengipas dan
mengumpulkan udara untuk menyejukkan sultan, karena tempatnya panas
sekali, baik oleh sinar matahari maupun kumpulan begitu banyak orang.
Sesudah beberapa waktu, setelah para tuan menyampaikan pesan mereka, dan
memperoleh jawaban, mereka diizinkan untuk pamit, dan dengan selamat di
antara kembali oleh salah satu ketua Dewan Sultan, yang ditugaskan oleh
sultan sendiri untuk melakukan hal itu.”
Sultan Baabullah dan
masa keemasan Ternate
Dengan kepergian orang
Portugis, Sultan Baabullah menjadikan benteng
Sao Paulo sebagai benteng sekaligus istana, ia merenovasi dan memperkuat
benteng tersebut kemudian mengubah namanya menjadi benteng
Gamalama.
Sultan Baabullah masih melanjutkan hubungan dagang dengan bangsa barat
termasuk
Portugis dan mengizinkan mereka
menetap di
Tidore,
akan tetapi tanpa pemberian hak istimewa, para pedagang barat
diperlakukan sama dengan pedagang – pedagang dari negeri lain dan mereka
tetap diawasi dengan ketat. Sultan Baabullah bahkan mengeluarkan
peraturan yang mewajibkan setiap bangsa Eropa yang tiba di Ternate untuk
melepaskan topi dan sepatu mereka, sekedar untuk mengingatkan mereka
agar tidak lupa diri.
Sultan Baabullah tetap memelihara persekutuan yang telah terbentuk
dan sering mengadakan kunjungan ke wilayah – wilayah yang mendukung
Ternate dan menuntut kesetiaan mereka terhadap persekutuan yang
dipimpinnya. Tahun
1580 Sultan Baabullah mengunjungi
Makassar
dan mengadakan pertemuan dengan raja
Gowa Tunijallo, mengajaknya masuk
Islam dan
ikut serta dalam persekutuan melawan
Portugis dan
Spanyol.
Sang raja tak langsung menyutujui ajakan Sultan untuk memeluk Islam
namun setuju untuk ikut dalam persekutuan kemudian sebagai tanda
persahabatan Sultan Baabullah menghadiahkan pulau Selayar kepada Raja
Gowa.
Dibawah pimpinan Sultan Baabullah,
Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah kekuasaan dan
pengaruhnya membentang dari
Sulawesi Utara,
tengah dan
timur
di bagian barat hingga
kepulauan Marshall dibagian timur, dari
Filipina
(Selatan) di bagian utara hingga sejauh kepulauan Kai dan
Nusa Tenggara dibagian selatan. Tiap wilayah
atau daerah ditempatkan wakil – wakil sultan atau yang disebut
Sangaji.
Sultan Baabullah dijuluki
“penguasa 72 negeri” yang semuanya
memiliki raja yang tunduk kepadanya (sejarawan Belanda,
Valentijn
menuturkan secara rinci nama-nama ke-72 negeri tersebut) hingga
menjadikan
kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam
terbesar di Indonesia timur.
Sultan Baab tetap melanjutkan kebijakan ayahnya dengan menjalin
persekutuan dengan
Aceh dan
Demak untuk mengenyahkan
Portugis dari Nusantara. Persekutuan Aceh –
Demak – Ternate ini merupakan simbol persatuan nusantara karena
ketiganya sebagai yang terbesar dan terkuat di masa itu merangkai
wilayah barat. tengah dan timur nusantara dalam satu ikatan
persaudaraan, mewujudkan kembali persatuan nusantara sejak keruntuhan
Majapahit.
Ternate pasca
Baabullah
Permulaan tahun 1583 Sultan Baabullah dipanggil menghadap Sang
Khaliq. Adapun penyebab maupun tempat kematiannya masih diperdebatkan,
namun apapun dan dimanapun itu kematian Sultan Baab sebagai putera
kebanggaan Maluku meninggalkan duka mendalam bagi rakyatnya. Ia adalah
satu-satunya putera Nusantara yang meraih kemenangan mutlak atas
kekuatan barat. Keberhasilannya mengantarkan Ternate menjadi kerajaan
besar dan mencapai puncak kejayaan bukanlah satu – satunya tanda
kebesarannya. Ia telah berhasil menanamkan rasa percaya diri rakyatnya
untuk bangkit menghadapi kekuasaan asing yang ingin menguasai kehidupan
mereka. Sultan Baabullah adalah simbol perlawanan terhadap kesewenang –
wenangan bangsa asing. Ia tak sudi tunduk pada kekuasaan asing dan
menempatkan dirinya sejajar dengan mereka, menjadi tuan di negeri
sendiri. Sepeninggal Sultan Baabullah tak ada lagi pemimpin lain di
Ternate maupun Maluku yang sekaliber dia. Para penggantinya tak mampu
berbuat banyak mempertahankan kebesaran Ternate.
Sultan Baabullah Datu Syah digantikan puteranya
Sultan
Said Barakati (
1583 –
1606) yang terus mengobarkan perang terhadap
Portugis dan
Spanyol.
KESULTANAN TERNATE
Kerajaan Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai
Kesultanan
Ternate (mengikuti nama ibukotanya) adalah salah satu dari 4
kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua
di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan
Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad
ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di
paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan
militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah
Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan
Filipina hingga sejauh
Kepulauan Marshall di pasifik.
Asal Usul
Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13, penduduk
Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate
terdapat 4 kampung yang masing - masing dikepalai oleh seorang
momole
(kepala marga), merekalah yang pertama – tama mengadakan hubungan
dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah –
rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang
Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang
semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak
maka atas prakarsa momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk
membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang
pemimpin tunggal sebagai raja.
Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai
Kolano (raja) pertama dengan gelar
Baab Mashur Malamo
(1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam
perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk
disebut juga sebagai “Gam Lamo” atau kampung besar (belakangan orang
menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya
Kota
Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan
Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi
penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya
berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan
terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.
Organisasi kerajaan
Di masa – masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah
membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut
Kolano.
Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan
dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin
meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para
ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan
Jogugu
(perdana menteri) dan
Fala Raha sebagai para penasihat. Fala Raha
atau Empat Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang
punggung kesultanan sebagai representasi para momole di masa lalu,
masing – masing dikepalai seorang
Kimalaha. Mereka antara lain ;
Marasaoli,
Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat – pejabat tinggi kesultanan
umumnya berasal dari klan – klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki
pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada
jabatan – jabatan lain
Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18),
Sabua
Raha,
Kapita Lau,
Salahakan,
Sangaji dll.
Untuk lebih jelasnya lihat
Struktur organisasi kesultanan Ternate.
Moloku Kie Raha
Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 5 kerajaan lain
yang memiliki pengaruh. Tidore, Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda. Kerajaan
– kerajaan ini merupakan saingan Ternate memperebutkan hegemoni di
Maluku. Berkat perdagangan rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi
yang mengesankan, dan untuk memperkuat hegemoninya di Maluku, Ternate
mulai melakukan ekspansi. Hal ini menimbulkan antipati dan memperbesar
kecemburuan kerajaan lain di Maluku, mereka memandang Ternate sebagai
musuh bersama hingga memicu terjadinya perang. Demi menghentikan konflik
yang berlarut – larut, raja Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut
juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja – raja Maluku
yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan.
Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir
Verbond. Butir penting dari pertemuan ini selain terjalinnya persekutuan
adalah penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Oleh karena
pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga
sebagai persekutuan
Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).
Kedatangan Islam
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di
Maluku khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya
kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat
banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu.
Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun
kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih
diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate
resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama
yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat
istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya,
Zainal Abidin
(1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah
meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan Sultan, Islam diakui
sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, membentuk
lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.
Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara
total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama
di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan
berguru pada
Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal
sebagai "Sultan Bualawa" (Sultan Cengkih).
Kedatangan
Portugal dan perang saudara
Di masa pemerintahan
Sultan Bayanullah (1500-1521),
Ternate semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara
islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang
Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Di masa ini
pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico
Varthema) tahun 1506. Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalinya
menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan
Fransisco Serrao,
atas persetujuan Sultan, Portugal diizinkan mendirikan pos dagang di
Ternate. Portugal datang bukan semata – mata untuk berdagang melainkan
untuk menguasai perdagangan rempah – rempah Pala dan Cengkih di Maluku.
Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate. Sultan
Bayanullah wafat meninggalkan pewaris - pewaris yang masih sangat belia.
Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum
sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore
bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah
satu dari kedua puteranya, pangeran Hidayat (kelak
Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak
Sultan Abu Hayat II). Sementara
pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri.
Portugal
memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah
perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan
pangeran Taruwese didukung Portugal. Setelah meraih kemenangan pangeran
Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugal. Gubernur Portugal
bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki
berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji
sebagai sultan. Tetapi ketika
Sultan Tabariji mulai menunjukkan
sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa – India. Disana ia
dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate
sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugal, namun perjanjian
itu ditolak mentah-mentah
Sultan Khairun (1534-1570).
Pengusiran Portugal
Perlakuan Portugal terhadap saudara – saudaranya membuat Sultan
Khairun geram dan bertekad mengusir Portugal dari Maluku. Tindak –
tanduk bangsa barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang
akhirnya berdiri di belakang sultan Khairun. Sejak masa sultan
Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan
terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan
Demak setelah kejatuhan kesultanan Malaka tahun 1511. Ketiganya
membentuk
Aliansi Tiga untuk membendung sepak terjang Portugal di
Nusantara.
Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang
pengusiran Portugal. Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat,
selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka
juga memiliki sekutu – sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk
menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam
kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat bala
bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada sultan Khairun. Secara
licik Gubernur Portugal, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke
meja perundingan dan akhirnya dengan kejam membunuh Sultan yang datang
tanpa pengawalnya. Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat
Ternate untuk menyingkirkan Portugal, bahkan seluruh Maluku kini
mendukung kepemimpinan dan perjuangan
Sultan Baabullah (1570-1583), pos-pos
Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur,
setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku
untuk selamanya tahun 1575.
Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan
kemenangan pertama putera-putera nusantara atas kekuatan barat. Dibawah
pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah
membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga
kepulauan Marshall dibagian timur, dari Philipina (Selatan) dibagian
utara hingga kepulauan Nusa Tenggara dibagian selatan. Sultan Baabullah
dijuluki “penguasa 72 pulau” yang semuanya berpenghuni (sejarawan
Belanda, Valentijn menuturkan secara rinci nama-nama ke-72 pulau
tersebut) hingga menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan islam
terbesar di Indonesia timur, disamping Aceh dan Demak yang menguasai
wilayah barat dan tengah nusantara kala itu.
Periode keemasaan tiga
kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak
dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar
pertama yang membendung kolonialisme barat.
Kedatangan Belanda
Sepeninggal Sultan Baabullah Ternate mulai melemah, Spanyol yang
telah bersatu dengan Portugal tahun 1580 mencoba menguasai kembali
Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat
kedudukannya di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao
untuk menghalau Spanyol namun gagal bahkan sultan Said Barakati berhasil
ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila. Kekalahan demi kekalahan yang
diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda tahun 1603. Ternate
akhirnya sukses menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat mahal.
Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate, tanggal 26
Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli
VOC
di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Di tahun
1607 pula Belanda membangun benteng
Oranje di Ternate yang
merupakan benteng pertama mereka di nusantara.
Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara
Belanda dan Ternate menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan
bangsawan Ternate. Diantaranya adalah pangeran Hidayat (15?? - 1624),
Raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja Ternate ini
memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia
mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah –
rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.
Perlawanan rakyat
Maluku dan kejatuhan Ternate
Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada sultan – sultan
Ternate semakin kuat, Belanda dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang
merugikan rakyat lewat perintah sultan, sikap Belanda yang kurang ajar
dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan kekecewaan semua
kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang
dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.
- Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah
yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar – besaran
pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai
Hongi
Tochten, akibatnya rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun 1641,
dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan
gabungan Ternate – Hitu – Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda
di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan
dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643.
Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali
dan Tolukabessi hingga 1646.
- Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate
dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan
Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap
cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk
menurunkan Mandarsyah. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio
pangeran Saidi, Majira dan Kalumata. Pangeran Saidi
adalah seorang Kapita Laut atau panglima tertinggi pasukan Ternate,
pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara pangeran Kalumata
adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan
di Maluku tengah sementara pangeran Kalumata bergabung dengan raja Gowa
sultan Hasanuddin di Makassar. Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan
sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655)
namun berkat bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan.
Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi cs berhasil dipadamkan. Pangeran
Saidi disiksa secara kejam hingga mati sementara pangeran Majira dan
Kalumata menerima pengampunan Sultan dan hidup dalam pengasingan.
- Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan
nama Sultan Sibori (1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak –
tanduk Belanda yang semena - mena. Ia kemudian menjalin persekutuan
dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk
menggalang kekuatan kurang maksimal karena daerah – daerah strategis
yang bisa diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan
Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah
dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori
terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate
sebagai kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa
Ternate sebagai negara berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka beberapa Sultan Ternate
berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda.
Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu
menyokong perjuangan rakyatnya secara diam – diam. Yang terakhir tahun
1914 Sultan
Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan
perlawanan rakyat di wilayah – wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah
Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal.
Di Jailolo
rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil
menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang
tewas termasuk Coentroleur Belanda Agerbeek, markas mereka diobrak –
abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer serta persenjataan yang
lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan,
kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji
Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh
karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23
September 1915 no. 47, sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari
jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, beliau dibuang ke Bandung
tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927. Pasca penurunan sultan Haji
Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun dan
pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat
muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus kesultanan
Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi
keras yang bisa memicu pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh
dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan
Ternate masih tetap bertahan meskipun hanya tinggal simbol belaka.
Jabatan sultan sebagai pemimpin Ternate ke-49 kini dipegang oleh sultan
Drs.
H. Mudaffar Sjah, BcHk. (Mudaffar II) yang dinobatkan tahun 1986.
Warisan Ternate
Imperium nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh
sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan
dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga berabad kemudian.
Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan nusantara
bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku.
Pengaruh itu mencakup agama, adat istiadat dan bahasa.
Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam Ternate memiliki peran
yang besar dalam upaya pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam
di wilayah timur nusantara dan bagian selatan Filipina.
Bentuk
organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang diperkenalkan
pertama kali oleh sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti
semua kerajaan di Maluku hampir tanpa perubahan yang berarti.
Keberhasilan rakyat Ternate dibawah sultan Baabullah dalam mengusir
Portugal tahun 1575 merupakan kemenangan pertama pribumi nusantara atas
kekuatan barat, oleh karenanya almarhum
Buya Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat
Ternate ini telah menunda penjajahan barat atas bumi nusantara selama
100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan Islam, dan sekiranya rakyat
Ternate gagal niscaya wilayah timur Indonesia akan menjadi pusat kristen
seperti halnya Filipina.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula
mengangkat derajat Bahasa Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai
wilayah yang berada dibawah pengaruhnya.
Prof E.K.W. Masinambow
dalam tulisannya; “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa - bahasa
Austronesia dan Non Austronesia” mengemukakan bahwa bahasa Ternate
memiliki dampak terbesar terhadap bahasa Melayu yang digunakan
masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di
Manado diambil dari bahasa Ternate. Bahasa Melayu – Ternate ini kini
digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur
Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang
berbeda – beda.
Dua naskah Melayu tertua di dunia adalah naskah surat
sultan Ternate Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8
November 1521 yang saat ini masih tersimpan di museum Lisabon –
Portugal.
Daftar Sultan Ternate
Berikut merupakan daftar nama Sultan Ternate:
[1]
- Kaicil Mashur Malamo atau Kaicili Tsyuka (1257-1277)
- Kaicil Jamin atau Cili Kadarat (1277-1284)
- Kaicil Kamalu atau Abu Sahid (1284-1298)
- Kaicil Bakuku (1298-1304)
- Kaicil Nagarah Malamo (1304-1317)
- Kaicil Patsarangah Malamo (1317-1322)
- Kaicil Sidang Arif Malamo (1322-1331)
- Kaicil Paji Malamo (1331-1332)
- Kaicil Sah Alam (1332-1343)
- Kaicil Tulu Malamo (1343-1347)
- Kaicil Kie Mabiji (1347-1350)
- Kaicil Ngolo Macayah (1350-1357)
- Kaicil Mamole (1357-1359)
- Kaicil Gapi Malamo (1359-1372)
- Kaicil Gapi Baguna atau Gapi Baguna I (1372-1377)
- Kaicil Kamalu (1377-1432)
- Kaicil Sia atau Gapi Baguna II (1432-1465)
- Kaicil Gapi Baguna atau Marhum (1465-1486)
Khalifah Islam Nusantara dan
Penakluk Kaum Imperialis
T ernate yang saat ini
menjadi daerah `panas’ akibat pertikaian bernuansa SARA, menyimpan
goresan emas kejayaan Islam. Sejarah mencatat keberadaan beberapa
kerajaan Islam di bawah pimpinan raja yang bijak di sana. Tak
mengherankan bila petualang kesohor Ibnu Batutah menyebut kawasan itu
sebagai
Jazirat Al-Mulk (Semenanjung Raja-Raja). Salah satu
fase kejayaan itu berada di bawah kendali Sultan Baabullah (SB), sosok
Muslim Ternate yang mampu berperan sebagai penguasa bijak. Di bawah
kendali pemerintahannya, Ternate mampu tampil sebagai kerajaan yang
adil, bisa mengayomi segenap lapisan masyarakat, termasuk kalangan
non-Muslim.
Tentu saja, gerakan misionaris
Kristen yang memporak-porandakan hakikat toleransi dengan tegas akan
dilibas. Ini dibuktikan SB ketika memimpin perlawanan melawan kolonialis
Portugis, yang tak hanya berniat menjajah secara ekonomi tetapi juga
aqidah. Penguasa Ternate yang dijuluki `Khalifah Islam Nusantara’ ini
akhirnya mampu mengenyahkan Portugis, dengan model perlawanan yang
cantik dan Islami.
Baabullah sang Penakluk• Lahir di Ternate, 10 Februari 1528 M,
Baabullah merupakan generasi ke-5 Sultan Zainal Abidin (1485-1500).
Generasi pertamanya adalah Sultan Bayanullah (1500-1522), kedua Sultan
Maharani Noekila (1522-1532), ketiga Sultan Tabarija (1532-1536), dan
keempat Sultan Chairun Janil (1536-1570).
Di masa muda, Baabullah telah
digembleng masalah kemiliteran oleh Salahaka Sula dan Salahaka Ambon.
Keduanya merupakan Panglima Kerajaan Ternate. Berkat bimbingan kedua
tokoh ini, dalam usia relatif muda Baabullah telah diangkat menjadi Kaicil
Paparangan (panglima tertinggi angkatan perang).
Dalam bidang pengetahuan agama
Islam, para mubalig istana juga tak jemu-jemunya membimbing Baabullah.
Anak muda gagah perkasa ini memang dipersiapkan untuk memegang tampuk
kerajaan Ternate. Jadilah ia, selain menguasai ketatanegaraan dan
kemiliteran, juga terdidik secara mental sebagai calon sultan pengganti
Chairun. Satu lagi, kelak ia diharapkan mampu melaksanakan tugas suci
memimpin perang fi sabilillah melawan kecongkakan Eropa.
Saat diangkat menjadi Sultan
Ternate yang ke-25, usia Baabullah sudah cukup matang, sekitar 42 tahun.
Segenap penghuni kerajaan tak ragu sebab ia telah terlatih secara nyata
di berbagai medan pertempuran masa pergolakan melawan Portugis.
Terbukti memang. Perlawanan
melawan Portugis semakin garang di masa pemerintahannya. Dalam benaknya
selalu teringat saat-saat duka dodora (duka mendalam)
ketika ia harus membopong jenazah Sultan Chairun, ayahandanya, yang
raganya hancur, diambil jantungnya oleh serdadu Portugis untuk
dipersembahkan kepada Rajamuda Portugis di Goa India (1570). Namun
spirit yang membuatnya pantang menyerah adalah
Ri Jou si to
nonakogudu moju se to suba (Hanya kepada Allah tercurah harapan,
meskipun ghaib tetap akan disembah karena Dia ada).
Portugis sendiri tiba di Ternate
sekitar tahun 1511, dipimpin Admiral Fransesco Serrano. Mereka diterima
Sultan Bayanullah (Raja Ternate waktu itu) dengan baik. Tetapi
barangkali karena tabiat Portugis yang tidak mengenakkan, kedatangan
orang-orang Eropa itu akhirnya menyulut peperangan. Penerus takhta
Bayanullah, Sultan Maharani Noekila, dengan tegas menyatakan perang
melawan Portugis. Sultan Tabarijja juga mengobarkan api perlawanan,
hingga ditawan di Goa dan akhirnya meninggal di Malaka. Ayah SB, Sultan
Chairun Janil, meneruskan perlawanan, sebelum akhirnya meninggal secara
tragis. Sang ayah inilah yang terus mengobarkan semangat dan kesadaran
sebagai bangsa merdeka di dada putranya, SB. Salah satu nasihatnya yang
terekam dalam pita sejarah adalah:
“Antara Islam dan Katolik
terdapat jurang pemisah yang lebar. Sejarah kemenangan Islam di
Andalusia (Spanyol), Khalifah Barat, membuat mereka membenci dan iri
kebesaran Kesultanan Ternate. Mereka menderita penyakit dendam kesumat
serta pemusnahan di mana saja setiap melihat negeri-negeri Islam, baik
di Goa, Malaka, Jawa, dan kita di Maluku sini. Kalau kita di Ternate
kalah maka nasib kita akan sama dengan negeri-negeri Islam di Jawa,
Sulawesi, dan Sumatra.”
Sebuah nasihat yang begitu
mengesankan bagi SB. Apalagi Portugis selama ini juga dikenal licik
sehingga Ternate beberapa kali dikibuli. Misalnya ketika putra mahkota
Dayle terbunuh (1532), penyerahan kedaulatan kepada Portugis di bawah
King Alfonso II (1536), pelanggaran sumpah agama yang disepakati Sultan
Chairun dan Musquita, serta puncaknya berupa tewasnya Chairun secara
sadis.
Jadilah kerajaan Ternate di bawah
SB sebagai rival terberat yang membuat kolonialis Portugis pusing tujuh
keliling. Armada Ternate yang terkenal perkasa, ditambah kapal-kapal
dari Jawa (Jepara), Melayu, Makasar, Buton, membuat armada Portugis yang
lengkap persenjataannya seakan tak berarti apa-apa. Akhirnya benteng
Fort Tolocce (dibangun tahun 1572), Santo Lucia Fortress (1518), dan
Santo Pedro (1522), jatuh ke tangan laskar kora-kora Ternate.
Siasat penyerangan dilakukan
secara matang selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Pasukan
canga-canga yang beranggotakan suku Tobelo dilengkapi panah api beracun.
Laskar Kolano Baabullah bersenjatakan meriam hasil rampasan dari
benteng Portugis di Castel Sin Hourra Del Rosario yang merupakan pusat
kekejaman Portugis di Asia Tenggara. Di kastel inilah para misionaris
dididik untuk menyebarkan agama Katolik di wilayah Maluku dan
sekitarnya. Sayang, agama Katolik kurang bisa diterima penduduk Ternate
karena terlalu dipaksakan.
Perang terus berkecamuk, baik di
darat maupun di laut. Armada kora-kora Ternate mampu membuat kalang
kabut korvet (kapal perang kecil) dan fregat (kapal perang ukuran
sedang) Portugis. Impian bangsa Portugis sebagai satu-satunya pemasok
komoditas rempah-rempah sekaligus membentuk imperium jajahan sebagai
bagian dari gerakan glory, gospel, gold (kemuliaan,
penyebaran agama, dan kekayaan) turut terkubur oleh keperkasaan laskar
Ternate.
Gubernur Alvaro De Atteyda segera
menawarkan perdamaian dengan, namun ditolak mentah-mentah. Akibatnya,
perang berjalan penuh selama lima tahun (1570-1575). Selama itu pula
spirit jihad laskar Ternate senantiasa mampu dikobarkan SB. Kemenangan
nyata telah mulai terlihat, sedang Portugis semakin tidak berdaya.
Kekalahan bertubi-tubi, terserang penyakit, kekurangan makanan, dan
bantuan yang tak pernah tiba, membuat pihak Portugis semakin lemas dan
lemah.
SB memimpin perang menurut pola
asli kesultanan di mana Tomagola bertanggung jawab atas kawasan
Ambon-Seram. Toraitu bertanggung jawab atas kep Sula, Bacan, Luwuk,
Banggai, dan Buton. Jougugu Dorure dan Sultan Jailolo termasuk
koordinator penghancuran di Halmahera dan Sulawesi.
Tanggal 24 Desember 1575 dengan
berat hati Gubernur Nuno Pareira de Lacerda menaikkan bendera putih
tanda menyerah total pada SB, sekaligus menyerahkan kota dan benteng
Santo Paulo atau kota Sen Hourra Del Rosario yang dikenal kejam itu.
Berduyun-duyun orang Portugis penghuni kota tersebut keluar, seirama
dengan nyanyian Misa Kudus di malam Natal yang penuh haru dengan
linangan air mata perpisahan.
Menyaksikan hal itu, tentara
Ternate bersikap ksatria. Orang-orang Portugis diizinkan membawa harta
bendanya kecuali senjata dan alat perang. Musuh-musuh Islam terus
dicekam ketakutan akan dibunuh laskar jihad Kesultanan Ternate, ternyata
diperlakukan seperti layaknya saudara. Begitu senjatanya dilucuti,
mereka dintar ke kapal untuk meninggalkan perairan Maluku. Mereka dibawa
bergabung dengan Spanyol ke Manila dan sebagian ke Timor Timur.
Khalifah Imperium Islam di
Nusantara SB memang amat menjunjung tinggi nilai ajaran Islam. Banyak
pembesar kraton yaang akhirnya merasa kecewa dengan tindakan SB. Sebab
musuh Islam yang membunuh ayah SB malah diperlakukan dengan baik. Ketika
banyak yang mempertanyakan hal itu, SB memberi titah, “Wahai joumbala
(rakyat), ketahuilah bahwa ajaran Islam tidak memperbolehkan seorang
Muslim mengambil keuntungan karena kelemahan musuhnya dalam perang di
medan laga.”
Kesaksian ucapan SB itu membuat
para tawanan Portugis yang beragama Katolik semakin terharu atas sikap
toleransi beragama yang dipraktikkan SB. Ini mencerminkan sikap seorang
pemimpin yang ksatria. Seperti halnya Khalifah Shalahuddin Al-Ayyubi
pada masa Perang Salib (1187-1193), SB membebaskan tawanan yang tidak
sanggup membayar tebusan, juga tawanan yang mendapat ratapan istrinya.
Kekuatan bangsa Portugis telah
dilumpuhkan tanpa kecuali. Pekik kemenangan diserukan pasukan Muslim
Ternate, bergema di mana-mana, menyeru keagungan asma Allah: Allahu
Akbar…Allahu Akbar!
Dan syair inilah yang selalu
dikumandangkan laskar jihad Ternate dalam rangka mengajak persatuan
untuk mengusir penjajah Portugis:
Moro-moro se maku gise
No kakoro siwange ma buluke
Si wange ma sosiru
Jo Mapolo sara sekore mie
Ini formoni Bismillah!
(Jika panggilan jihad telah
diumumkan wajiblah diteruskan pada rakyat, Di matahari naik dan rakyat
di matahari masuk, Bersatulah dengan rakyat di angin selatan, Dan rakyat
di angin utara, bangkitlah berperang. Dengan niat Bismillah!)
Khalifah Imperium
Islam Nusantara
Kemenangan SB dalam memimpin perang `menjebol’ Portugis dari
Nusantara banyak dianggap sebagai tonggak kemenangan Islam di Nusantara.
Kesultanan Ternate mengalami masa gemilang, bebas dari pengaruh
Portugis dan Spanyol. Aktivitas dakwah pun begitu gencar dilaksanakan ke
seluruh penjuru negeri. Kepulauan Nusa Tenggara menjadi lahan dakwah
paling ramai tenaga-tenaga da’i utusan SB.
Dengan kharisma sebagai pemimpin,
SB telah menunjukkan keperkasaannya sebagai koordinator andal dari
pelbagai suku yang berbeda akar genealogis. Karena itulah ia diakui dan
dikukuhkan sebagai “khalifah Imperium Islam” oleh Majelis Sidang
Raja-Raja yang bersekutu dengan Ternate di Makassar, pusat kerajaan
Gowa.
Sebagai Khalifah Islam Nusantara
penguasa 72 negeri, SB menempatkan 6 sangaji di Nusa Tenggara, yaitu:
Sangaji Solor, Sangaji Lawayong (NTT), Sangaji Lamahara, Sangaji Kore
(NTB dan Bali), Sangaji Mena, dan Sangaji Dili (Timtim). Di pulau Jawa
ada 4: Sangaji Lor, Sangaji Kidul, Sangaji Wetan, dan Sangaji Kulon. Di
Sumatera ada Sangaji Palembang. Sementara di Irian ada 5, yaitu: Sangaji
Raja Ampat (Kolano Fat), Sangaji Papua Gamsio (Sorong), Sangaji Mafor
(Biak), Sangaji Soaraha (Jayapura), dan Sangaji Mariekku (Merauke). Di
Sulawesi ditempatkan di kerajaan Goa Makassar, Bone, Buton Raha,
Gorontalo, Sangir, Minahasa, Luwu, Banggai, dan Selayar.
Di Kalimantan
ada kerajaan Sabah, Brunai, Serawak, dan Kutai. Begitu pula di Filipina,
terdapat di kerajaan Mangindano, Zulu-Zamboango. Sementara di kepulauan
Maluku sendiri ada Sangaji Seram, Ambon, Sula, Maba, Pattani, Gebe, dan
lain-lain. Bahkan sampai di Mikronesia dekat pulau Marshall kepulauan
Mariana, ada Sangaji Gamrangi. Begitu pula di Polinesia dan
Melanesia. Begitu luas wilayah kekuasaannya, sehingga banyak yang
menyebut bahwa Ternate masa SB bisa dijadikan model negara Islam di
Nusantara.
Kerajaan Islam besar itu terus
bertahan sampai anak keturunan SB. Anaknya, Sayeed Barakadli
(Sayiyudin), pengganti SB, mampu mempertahankan eksistensi Ternate
sebagai bangsa yang besar. Cucunya, Sultan Zainal Abidin, mewakili
kemaharajaan Ternate dalam pembentukan Aliansi Aceh-Demak-Ternate (Triple
Alliance).
Khalifah Imperium Islam Nusantara
SB, mangkat pada tanggal 18 Ramadhan 991 H atau 25 Mei 1583 dalam usia
53 tahun. Duka dodora (kesedihan mendalam) melanda bumi
Ternate